Jakarta – Direktur eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar mendorong agar DPR harus merespon secara keras dan tegas agar peristiwa Penggerudukan TNI ke Mapolrestabes Medan tidak kembali terulang.
“Fungsi kontrol sipil yang demokratis harus dikedepankan dan diperkuat, DPR harus merespon secara keras dan tegas agar peristiwa tersebur tidak terjadi lagi,” tegas Wahyudi.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi virtual menyikapi Peristiwa Penggerudukan Mapolrestabes Medan oleh Pers TNI Kodam I / BB, yang digagas Perhimpunan Bantuan hukum Indonesia (PBHI), Minggu (6/8/2023).
Dijelaskannya, reformasi 98 mengamanatkan pemisahan kewenangan antara institusi Polri dengan TNI dan hal tersebyr ditindak lanjuti dengan agenda Reformasi TNI dan lahirlah UU No 34 tahun 2004 tentang TNI. Sehingga terjadi pemisahan kewenangan dimana TNI hanya berwenang pada ranah pertahanan tidak ada lagi kewenangan dalam ranah keamanan / penegakan hukum.
“Salah satu indikator Reformasi TNI adalah instrumen UU militer harus merujuk kepada prinsip-prinsip equality before the law dan Rule of the law,” jelasnya.
Namun, kata dia, pasca 25 tahun reformasi instrumen belum berjalan sehingga menimbulkan situasi kondisi impunitas TNI, karena kejadian-kejadian serupa terus terjadi.
“Sepertinya Militer tidak pernah belajar dari peristiwa-peristiwa masa lalu,” sebutnya.
Wahyudi juga mengusulkan adanya langkah-langkah yang harus diambil dalam menyoroti persoalan tersebut. Yakni, pertama adalah memastikan militer bisa bekerja sesuai dengan UU 34/2004 untuk mewujudkan militer yang profesional.
“Lanjutkan agenda Reformasi dengan Revisi UU peradilan militer yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum,” pungkasnya.
Ditempat terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR F-Gerindra Habiburokhman menilai ada upaya intervensi TNI dalam penegakan hukum di Polrestabes Medan.
“Kami menyesalkan insiden penggerudukan Polrestabes Medan oleh oknum TNI. Tidak boleh ada pihak manapun yang melakukan intervensi terhadap pelaksanaan tugas penyidik,” kata Habiburokhman, Minggu (6/8/2023).
Habiburokhman menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf D KUHAP telah mengatur bahwa penahanan adalah wewenang penyidik. Menurutnya penahanan tentu merupakan wewenang penyidik dari Polrestabes Medan.
“Penilaian pemenuhan syarat subyektif penahanan yakni adanya kekhawatiran tersangka melarikan diri, mengulangi tindak pidana ataupun menghilangkan alat bukti ada pada penyidik. Kalau sampai penahanan tidak dilakukan tetapi ketiga hal tersebut terjadi maka penyidik justru yang akan dievaluasi,” katanya.