Jakarta. Tahap pencoblosan kepala daerah secara serentak 2024 semakin dekat. Namun, beberapa pihak menganggap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada) hanya mengatur pencoblosan kepala daerah tanpa mengatur tentang pelaksanaan pelantikannya.
Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Aditya Perdana menilai dasar hukum terkait pelantikan kepala daerah pada Pilkada Serentak 2024 masih belum jelas. Menurutnya, dalam penyusunan UU Pilkada tersebut, para legislator tidak mempertimbangkan unsur keserentakan di dalamnya.
Akibatnya, kata Aditya, akhir masa jabatan (AMJ) kepala daerah saat ini tidak sama maupun masa peradilan sengketa Pilkada yang tidak dapat dipastikan. Pasalnya, akan ada sebanyak 31 DPRD Provinsi yang akan memasuki AMJ pada September 2024, sementara 3 provinsi lainnya akan selesai pada bulan berikutnya. Sementara itu, sebanyak 273 DPRD Kabupaten/Kota akan memasuki masa AMJ pada Agustus 2024, dan sebanyak 162 DPRD Kabupaten/Kota akan AMJ di bulan berikutnya.
Sedangkan, pencoblosan Pilkada Serentak 2024 akan berlangsung pada November 2024. Tetapi, hingga saat ini, aturan mengenai pelantikan kepala daerah masih belum disusun.
“Iya, (pelantikan serentak kepala daerah) ini memang dasar hukumnya tidak kuat karena ketika pembentukan UU-nya tidak mempertimbangkan keserentakan sehingga mengakibatkan banyak ekses yang tidak diduga sebelumnya, seperti AMJ yang tidak sama ataupun ekses peradilan di MK yang tidak bisa dipastikan waktunya,” ujar Aditya saat dihubungi, Rabu (23/8/2023).
Lebih lanjut, menurut Aditya, UU Pilkada boleh saja hanya sebatas mengatur tentang pencoblosan kepala daerah tanpa mengatur jadwal pelantikannya. Namun, lanjutnya, hal ini bisa dilakukan hanya jika tidak ada perubahan undang-undang yang mengatur Pilkada tersebut.
“Makna keserentakan itu dalam pandangan saya, dengan situasi di mana tidak ada perubahan UU, maka kita akan bisa dorong jalan tengahnya misalkan untuk menyatakan bahwa keserentakan yang dimaksud sebatas pencoblosan saja, bukan hingga pelantikan,” kata Aditya.
Meski begitu, Aditya mendorong agar waktu pelantikan kepala daerah juga diatur di dalam undang-undang. Sebab, menurutnya, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi sengketa Calon Bupati yang terjadi di Yalimo, Papua, pada Pilkada Serentak 2020 lalu.
“Namun demikian perlu ada kepastian hukum yang jelas terkait durasi waktu peradilan sengketa di MK berapa lama agar kemudian tidak berlarut lama seperti banyak kasus di Papua. Ini juga penting dipikirkan,” jelas Aditya.
“Jadi ini memang akan bermasalah dan perlu ada antisipasinya,” pungkasnya.