Jakarta – Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurniansyah, menilai pengerahan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menjaga sejumlah kantor kejaksaan sebagai langkah yang problematik, meskipun secara hukum tidak dilarang.
Menurutnya, tindakan ini perlu dicermati secara serius mengingat momentum politik saat ini, di mana pemerintah bersama DPR RI sedang membahas revisi Undang-Undang TNI yang berpotensi memperluas peran militer dalam jabatan sipil.
“Yang menjadi masalah adalah momentumnya yang mungkin kurang tepat. Saat ini, pemerintah dan DPR RI sedang merevisi RUU TNI, yang salah satu poinnya memberikan akses bagi TNI untuk menduduki jabatan sipil. Kehadiran TNI di Kejaksaan bisa dianggap sebagai upaya demonstratif untuk mendorong revisi tersebut,” ujar Dedi pada Sabtu (24/5/2025).
Dedi menegaskan bahwa langkah tersebut berisiko mengikis prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi. Ia mengingatkan bahwa TNI sudah memiliki yurisdiksi sendiri melalui peradilan militer, sehingga tidak perlu diperkuat dengan keterlibatan di lembaga sipil seperti kejaksaan.
“Militer tidak seharusnya melakukan hal ini. Menjaga Kejaksaan secara khusus adalah bentuk keterlibatan yang berlebihan,” tegasnya.
Lebih jauh, Dedi menyoroti kekhawatiran utama bukan hanya pada kehadiran TNI di lembaga eksekutif, melainkan juga pada wacana yang membuka jalan bagi militer untuk menduduki posisi strategis di Mahkamah Agung (MA). Jika hal itu terjadi, keseimbangan sistem trias politica Indonesia bisa terganggu.
Ia juga mengingatkan potensi kekebalan hukum jika militer semakin mendominasi lembaga yudikatif. “Selama ini, banyak kasus korupsi yang melibatkan militer sulit disentuh KPK karena alasan yurisdiksi. Jika militer masuk ke MA, supremasi hukum bisa lumpuh,” ujarnya.
Dedi menegaskan bahwa poin paling krusial dalam revisi RUU TNI adalah upaya memasukkan peran militer di Mahkamah Agung, yang menurutnya harus ditolak demi menjaga demokrasi dan checks and balances di Indonesia.