JAKARTA – Langkah efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir membawa dampak signifikan terhadap berbagai sektor, termasuk industri perhotelan. Kebijakan pembatasan perjalanan dinas, pengurangan anggaran untuk acara pemerintahan di hotel, serta optimalisasi penggunaan rapat virtual menjadi bagian dari strategi penghematan yang berdampak langsung pada tingkat okupansi dan pendapatan hotel, khususnya di kota-kota yang selama ini bergantung pada kegiatan instansi pemerintah.
Pelaku bisnis perhotelan mulai merasakan tekanan akibat menurunnya permintaan layanan, terutama dari lembaga pemerintahan, segmen korporat, dan instansi publik. Hotel-hotel yang sebelumnya menjadi langganan kegiatan seperti seminar, pelatihan, dan pertemuan kini harus mencari strategi baru untuk mengisi kekosongan.
Menurut data yang dihimpun, tingkat okupansi rata-rata hotel di Jakarta sekitar 30-40 persen setelah efisiensi anggaran pemerintah yang berpotensi untuk melakukan putus hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan hotel. Sementara pada tahun 2024 okupansi hotel dapat mencapai 80 -90 persen.
Meskipun efisiensi anggaran merupakan bagian dari upaya pengelolaan keuangan negara yang lebih sehat, sektor perhotelan dituntut untuk beradaptasi cepat agar tetap bertahan di tengah perubahan pola konsumsi tersebut.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi B.S. Sukamdani, meminta pemerintah untuk lebih serius menyikapi permasalahan ini. Menurutnya, kebijakan efisiensi anggaran pemerintah bukan hanya berdampak pada bisnis hotel, tetapi juga pada sektor industri lainnya. Bahkan saat ini terjadi penurunan daya beli masyarakat secara umum.
“Ini bukan hanya soal hotel. Mereka menggunakan hotel karena ada keperluan-seperti sosialisasi atau rapat dengan masyarakat. Kalau kegiatan itu tidak dilakukan karena anggarannya tidak ada, bagaimana bisa berjalan? Mengundang pembicara, misalnya, tentu ada ongkosnya. Jadi menurut saya, bukan hanya hotel yang merasa dirugikan, tapi masyarakat luas juga terdampak. Akibatnya, daya beli masyarakat ikut menurun,” jelas Hariyadi kepada VOI melalui sambungan telepon, Jumat, 30 Mei 2025.
Ia juga menjelaskan bahwa pelaku jasa akomodasi legal saat ini tengah mencari alternatif solusi, dengan sektor pariwisata menjadi salah satu andalan untuk menopang bisnis. Namun, maraknya jasa akomodasi ilegal menjadi hambatan tersendiri. Wisatawan mancanegara cenderung memilih menginap di vila dan homestay ilegal, ketimbang hotel.